Kamis, 14 Agustus 2008

ENTREPRENEUR BERMAIN DENGAN RISIKO

Salah satu hal yang paling sulit ketika kita memutuskan untuk jadi entrepreneur adalah keluar dari zona nyaman untuk kemudian masuk dalam zona ketidakpastian (penuh risiko). Zona nyaman yang paling berat untuk ditinggalkan adalah mental orang gajian yang serba aman. Artinya, ketika masih jadi pekerja kita tak perlu terlalu memikirkan masa depan perusahaan. Kalau bangkrut maka kita toh tetap dapat uang pesangon. Kalau kineja perusahaan biasa–biasa saja atau malah jeblok maka setiap akhir bulan kita tetap akan terima gaji. Risiko terbesar ada di tangan pemilik usaha, bukan pada karyawan. Jika perusahaan bangkrut, kita bisa pindah kerja ke perusahaan lain.

Berbeda dengan ketika kita memutuskan untuk menjadi entrepreneur. Semuanya menjadi serba tidak pasti. Bisa untung, bisa pula buntung. Maka pada bagian sebelumnya, saya telah menegaskan, salah satu ciri entrepreneur adalah berani mengambil risiko. Banyak perusahaan yang baru beberapa bulan berdiri akhirnya bangkrut. Umumnya ini terjadi pada mereka yang latah atau ikut–ikutan. Saya masih ingat sekitar 3 tahun lalu, saat percakapan mengenai IT (information technology) merebak, banyak kemudian yang terjun ke bidang ini. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang masih bertahan dan menguntungkan hingga saat ini.

Menurut entrepreneur terkenal dari Amerika, Victor Kiam, untuk maju seorang entrepreneur haru berani bermain dengan risiko, bahkan mengubah risiko menjadi peluang. Lantas, risiko macam mana yang harus diambil oleh para entrepreneur? Jawabannya cuma satu: risiko yang telah diperhitungkan dengan matang (calculated risk). Tidak main asal seruduk kayak banteng. Melainkan melakukan kalkulasi cermat mengenai prospek usaha yang akan ditekuni. Misalnya, adakah permintaan pasar, bagaimana dengan tingkat persaingan selama ini, bagaimana supply bahan baku, dsb.

Jika memang risiko yang diprediksi itu jadi kenyataan maka sebagai entrepreneur unggulan, kita tidak boleh panik. Kepanikan kita akan membawa musibah besar. Ibarat penyakit menular, kepanikan kita akan segera menular kepada semua orang dalam perusahaan dan pada akhirnya mematikan perusahaan kita. Kita harus tabah dan tegar. Analisa sebabnya dan segeralah cari jalan keluar.

Saya amat yakin keunggulan seorang entrepreneur bukan ditentukan oleh seberapa banyak keuntungan yang bisa diraihnya melainkan seberapa banyak ia dapat bangkit dari kegagalan. Setiap kegagalan menjadi guru baginya. Ia tetap optimis melangkah ke depan. Kegagalan adalah bagian dari masa lalu dan amat tidak layak untuk terulang di masa mendatang.

Salah satu cara yang sering ditempuh untuk meminimalkan risiko adalah dengan mencari pembimbing. Inilah yang paling sulit. Pembimbing yang keliru hanya akan memberikan nasihat yang salah. Jika kita memutuskan untuk jadi orang kaya, maka carilah pembimbing orang kaya yang sudah banyak makan asam garam. Pembimbing yang manjur adalah seseorang yang sudah melakukan apa yang ingin kita lakukan dan ia berhasil.

Pembimbing yang tepat akan mendidik ulang (re-educate) diri kita. Untuk itu kita hanya perlu rendah hati dan membuka pikiran kita agar mampu menyerap ilmu–ilmu baru. Pembimbing yang baik mampu menyederhanakan masalah sehingga lambat laun kita pun akan terlatih untuk dapat berpikir sederhana.
Sebaliknya, pembimbing yang keliru bisa menutup jalan kita untuk lebih sukses. Jika kita memutuskan jadi entrepreneur maka jangan pernah minta saran kepada teman sekantor karena mereka akan bilang, untuk apa mencari ketidakpastian kalau yang pasti–pasti udah di dalam genggaman tangan.

Ingatlah bahwa umumnya semakin besar risiko yang kita ambil maka akan semakin besar pula hasil yang akan kita dapatkan jika kita dapat mengelolanya dengan baik. Jika terjadi kebuntuan, hubungi segera pembimbing kita. Bisa juga kita membentuk semacam tim penasihat atau memakai jasa konsultan namun keputusan terakhir tetap di tangan kita. Sekali kita memutuskan, kita harus konsisten menjalaninya. Nasihat semanjur apa pun tidak akan berguna tanpa dipraktekkan. Bila kita mau berubah, sekaranglah saatnya. Jangan tunggu besok. Act now!
Nah, jika kita telah memutuskan jadi entrepreneur maka bersiap–siaplah mengelola risiko dengan baik. Orang yang tidak berani mengambil risiko ibarat orang yang hanya melihat bunga mawar sebagai bunga berduri. Ia tak berani mendekat karena selalu takut tertusuk duri. Sebaliknya orang–orang yang optimis dan berani ambil risiko, mampu melihat keindahan bunga mawar di balik durinya yang tajam. Mungkin pada tahap awal mereka pun akan tertusuk duri namun makin lama mereka makin mahir untuk menghindari duri dan akhirnya selalu dapat menikmati keindahan bunga mawar. Kita pilih yang mana?

Tidak ada komentar: